Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA),
menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi
Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar
manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing
a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988).
Melalui
riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya
berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi
bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W.
Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan
wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai
“Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya
merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta
di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan
Perancis selama 12 abad.
Konstitusi
Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa
kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina
wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa
jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan
muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada
segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan
bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka).
Piagam
Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara
pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat
beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur
hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa
sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak
mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh
diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari
golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara
dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah
satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas
memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3)
Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan
diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan,
yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Sampai
dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan
seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan
kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al
Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi,
menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang
snagat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.
Bahkan,
al-Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama
lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan
keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat
8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang
tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu."
Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang
dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia
menyakiti Allah." (HR Thabrani).
Umar Melanjutkan
Prestasi
Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal
membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada
tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem.
Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik
pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin
Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum
pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat: “Umar
juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama)
monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang
sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya
sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen
menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak
ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau
pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk
Islam. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three
Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.)
Toleransi
Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas
dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan
dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent -- 1520-1566),
Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari
Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di
Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat
bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di
pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we
are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di
buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A
History of Jerusalem, hal. 325-326.)
Karen Armstrong juga
menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan
Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman
keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan
seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak
kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya
perskeusi anti-Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai
kota. (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326-327.)
Begitu besar jasa Islam terhadap Barat, sampai-sampai Tim Wallace-Murphy dalam
bukunya, What Islam Did for Us, mencatat: “Kita di Barat
menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.”
(We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully
repaid). (***)
0 komentar:
Posting Komentar