Sore itu,
23 September 2001, Stadion Yankee, New York City, dipadati puluhan ribu
pengunjung. Mereka tidak sedang menonton bisbol sebagaimana lazimnya. Tapi, hari
itu, semua komponen masyarakat dari berbagai etnis ataupun agama, berkumpul
dalam perhelatan dengan tajuk "A Prayer for America". Doa bersama itu
diselenggarakan pasca-serangan ke gedung World Trade Center, 11 September
2001.
Dalam acara yang dihadiri mantan Presiden Bill Clinton bersama
istri, Gubernur Negara Bagian New York Robert Pataki, dan Wali Kota New York
Rudolph Giuliani itu, tampil seorang lelaki muda berperawakan langsing,
membacakan doa-doa yang dinukil dari Al-Quran dengan fasih. Semua jaringan
televisi di Amerika Serikat menayangkannya. Juga CNN yang memancarkan ke
seantero dunia.
Doa yang dipanjatkan dalam bahasa Arab itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh seorang perempuan berjilbab, juga dengan fasih.
Hampir semua yang hadir menunduk. Ada yang bergetar dadanya, tak sedikit yang
meneteskan air mata. Siapakah lelaki muda nan langsing itu? Dia adalah
Muhammad Syamsi Ali, kelahiran Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, 5
Oktober 1967. Peraih magister di bidang perbandingan agama (1994) dari
International Islamic University, Islamabad, Pakistan, itu adalah seorang staf
Perhumas di Perwakilan Tetap RI untuk kantor PBB, New York. Ia masuk ke New York
sejak 1996.
Selain pekerjaannya di birokrasi, Syami Ali bergiat di jalur
dakwah dan menjadi Imam Masjid New York City. Usai salat Jumat, Syamsi Ali
menggelar diskusi dengan membentuk lingkaran di pojok masjid. Pesertanya datang
dari berbagai suku bangsa, baik mualaf maupun mereka yang mau mendalami Islam
lebih jauh. Sebagai ustad, Syamsi Ali dengan ramah memberi penjelasan tentang
hakikat Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia menjelaskan bahwa Islam
bukanlah teroris, sebagaimana disangkakan oleh mereka yang tak paham ajaran
Islam.
Lewat tulisannya, kita akan terkesima bagaimana piawainya Syamsi
menjelaskan tentang syahid sembari meluruskan pemahaman yang dinilainya salah.
"Seringkali kata 'syahid' diasosiasikan dengan mati dalam sebuah peperangan.
Lebih tragis lagi,... seperti yang mati syahid ditunggu oleh 70 bidadari di
surga. Asosiasi ini semakin memperburuk pemahaman orang, karena dianggapnya
mereka yang melakukan "bom bunuh diri" didasari oleh ajaran 'syahadah' yang
bayarannya berupa bidadari-bidadari cantik di surga" (halaman
269).
Menurut Syamsi Ali, syahadah yang dilakukan seorang syahid bisa
beragam dalam hidupnya. "Dari melakukan penghambaan diri kepada Yang Mahasatu
hingga kepada amalan-amalan sederhana lainnya, seperti membersihkan jalan,
bersedekah, dan bahkan walau hanya tersenyum dengan ikhlas kepada sesama
manusia" (halaman 270).
Kumpulan tulisan Syamsi Ali selama berdakwah di
New York ini terdiri dari empat bagian dan ditutup dengan epilog oleh Sapto
Waluyo. Alangkah bagusnya jika pada setiap item tulisan disebutkan sumber dan
kapan diterbitkan, agar pembaca mendapat informasi tentang kontekstualitas
ketika tulisan dibuat. Juga hadis-hadis yang dikutip perlu disebutkan
sumbernya.
Meski esensi epilog yang ditulis Sapto Waluyo cukup bagus,
bukan berarti tidak ada khilafnya. Di halaman 371, misalnya, ia menulis,
"Buktinya, sejak peristiwa serangan '9 September 2001'." Yang benar adalah 11
September 2001.
Lepas dari kekurangan yang ada, buku ini adalah dokumen
sejarah yang tinggi nilainya. Ya, di jantung kota dunia, New York, seorang da'i
asal suku Kajang --suku yang terus terpinggirkan akibat modernisasi--
menjelaskan tentang Islam yang ramah. Keramahan Islam seperti disampaikan Syamsi
Ali membuat banyak orang tertarik pada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW itu.
Ketertarikan adalah awal yang baik untuk memahami, mempelajari, dan membuang
buruk sangka.
Penerbit, Gema Insani, Jakarta, April 2007, 376
halaman
[Buku, Gatra Nomor 28 Beredar Kamis, 21
Mei 2007]
0 komentar:
Posting Komentar