Mengapa Islam Jadi Menakutkan? ~ ISLAMI BOOK

Mengapa Islam Jadi Menakutkan?

Saat reformasi baru saja bergulir, harapan umat untuk bisa menjalankan keseluruhan ajaran Islam secara bebas terlihat begitu besar. Semangat untuk mewarnai Indonesia dengan Islam juga terlihat sangat tinggi. Sampai-sampai waktu itu sempat muncul keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Partai-partai politik berasaskan Islam tumbuh menjamur. Seolah-olah Islam menjadi warna baru bagi kehidupan berpolitik. Tokoh-tokoh yang kuat berpegang pada Islam pun bermunculan. Mereka membawa harapan baru bagi terbukanya jalan untuk mewarnai Indonesia dengan Islam. Namun ''masa kejayaan'' itu ternyata tidak berlangsung lama. Runtuhnya menara kembar WTC dan salah satu sisi bangunan Pentagon, seperti menjadi titik balik. Harapan untuk bisa mengibarkan panji-panji Islam di bumi Nusantara ini terlihat menjadi harapan yang begitu mahal, bahkan berbahaya untuk bisa dipenuhi.

Makhluk bernama Jamaah Islamiyah (JI) yang dimunculkan setelah kejadian WTC membuat nama Islam ikut kena getah. Laporan International Crisis Group tertanggal 11 Desember 2002 yang memuat cerita tentang JI, terlihat menjadi pemicu tersebarnya istilah tersebut dalam wacana publik. Sebelumnya, JI sama sekali tidak banyak dibincangkan.

Penjelasan tentang istilah ini tidak terpapar secara jelas. Secara harfiah, Jamaah Islamiyah bisa diartikan sebagai kumpulannya orang-orang Islam. Dari istilah ini kemudian umat Islam pun didekatkan dengan aktivitas terorisme. Usaha untuk mendekatkan Islam dengan kegiatan terorisme ini makin mendapat momentum setelah Amerika Serikat (AS) --tanpa dasar yang legitimate-- menyerang Afghanistan dan Irak.

Di Indonesia, upaya untuk mendekatkan Islam dengan kegiatan terorisme kemudian membawa implikasi yang memprihatinkan. Mereka yang terbiasa aktif di masjid sempat mengalami periode yang cukup menyulitkan. Di akhir 2003, belasan atau mungkin puluhan aktivis masjid diculik. Saat itu, polisi menolak istilah ''diculik'' dan menggantinya dengan sebutan ''ditangkap''. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan, surat penangkapan diberikan kepada keluarga beberapa hari setelah penculikan.

Setelah mendekam di Mabes Polri dan Polda Metro Jaya, sebagian mereka kemudian memang dikembalikan lagi kepada keluarganya. Namun operasi ini meninggalkan kesan bahwa mereka yang aktif mengurus masjid itu menjadi kelompok potensial pelaku terorisme. Sehingga mereka perlu ditangkap, tanpa alasan yang jelas.
Arti moderat dan liberal

Orang pun akhirnya punya persepsi yang menakutkan tentang Islam. Mereka yang berusaha menegakkan Islam secara ketat, dinyatakan sebagai kelompok Islam ekstrem, fundamentalis, atau radikal. Mereka lantas dicurigai dan gerak-geriknya selalu dipantau. Untuk menghindari pandangan seperti ini, umat Islam lantas perlu menyebut dirinya sebagai aliran Islam yang moderat.

Tidak jelas betul definisi Islam moderat yang kini banyak disebutkan para tokoh Islam itu. Apakah dengan melonggarkan ajaran-ajaran Islam lantas seseorang layak disebut sebagai Muslim yang moderat? Ataukah Muslim yang moderat itu adalah Muslim yang bisa masuk dan diterima semua kalangan, meski dia harus ''menyembunyikan'' sebagian ajaran Islam? Apapun maksudnya, penggunaan sebutan moderat ini lebih banyak ditujukan untuk menghindari sebutan fundamentalis, ekstrem, atau radikal.

Bahkan ada juga kalangan yang menyandingkan Islam dengan istilah liberal. Sehingga lahirlah istilah Islam liberal. Sebuah penggabungan yang aneh. Di dunia ekonomi, istilah ekonomi liberal mulai diberi cap negatif. Dalam budaya juga seperti itu. Istilah budaya liberal, lebih banyak dimaknai sebagai produk budaya yang negatif. Anehnya, kemudian ada kalangan yang menyandingkan istilah tersebut dengan Islam.

Dalam banyak konteks, posisi Islam liberal ini berada berlawanan dengan kalangan Muslim yang kerap dicap sebagai kelompok fundamentalis. Karena itu, meski juga berada pada titik ekstrem, kelompok Islam liberal ini tidak pernah dicurigai seperti dicurigainya kelompok Muslim yang dianggap fundamentalis itu. Islam liberal dianggap sama sekali jauh dari terorisme, sementara Islam fundamentalis dinyatakan dekat dengan aksi terorisme. Secara implisit, pembagian Islam menjadi radikal dan moderat bisa terlihat dalam laporan mingguan Time edisi 13 September 2004. Laporan ini memberikan gambaran tentang Islam yang bagi umumnya kalangan Barat menjadi mengerikan. Laporan yang diturunkan dalam sembilan halaman itu membagi Islam menjadi dua kelompok: radikal dan moderat. Mereka yang disebut radikal adalah kelompok yang secara fisik melawan ketidakadilan koalisi Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS).
Menebar ketakutan

Pengelompokan ini sangat potensial menebarkan ketakutan bagi umat Islam untuk menegakkan ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Mereka yang takut lantas memilih jalan aman dengan ''menyembunyikan'' identitas Islamnya. Mereka juga menjadi tidak berani tegas melawan konsep-konsep Barat yang merusak Islam, karena takut dianggap radikal dan layak ditangkap dengan tuduhan terorisme.

Citra Islam yang terus diperburuk, kemudian juga membuat banyak istilah Islam yang sebenarnya memiliki makna yang baik, menjadi sangat menakutkan. Istilah ''jihad'' yang sejatinya memiliki makna bersungguh-sungguh dalam berbuat baik, kemudian dibelokkan menjadi hanya bermakna perang dengan kekerasan. Istilah ''syariat Islam'' kemudian dimaknai secara menakutkan dan diidentikkan dengan potong tangan, rajam, qishash, dan sebagainya.

Mereka yang meneriakkan jihad dan penegakkan syariat Islam kemudian dianggap sedang berkampanye untuk menebar aksi kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Yang lebih parah, keberhasilan kampanye untuk mendekatkan Islam dengan terorisme ini telah melahirkan Undang-undang (UU) Antiterorisme yang berlaku di banyak negara, termasuk Indonesia. UU ini seperti memberi legitimasi kepada negara untuk ''mencurigai'' Islam secara berlebihan. Negara bisa menangkap ulama yang dianggap menghasut, meski tanpa bukti-bukti dan batasan yang jelas.

Lewat regulasi ini pula, negara mendapat akses untuk mengawasi pesantren yang kini banyak dituduh sebagai tempat penggemblengan para teroris. Padahal, dengan makin tingginya biaya sekolah, pesantren bisa menjadi tempat pendidikan alternatif bagi kalangan yang tidak mampu. Kebanyakan pesantren tidak mematok biaya pendidikan terlampau tinggi. Mereka yang tidak kuat belajar di sekolah umum, bisa menjadikan pesantren jalan keluarnya.

Namun saat ini posisi pesantren sedang dicurigai. Alumni-alumni pesantren dianggap berpotensi untuk tumbuh menjadi teroris. Hal ini pun bisa menyebabkan ketakutan bagi para orang tua untuk memasukkan anaknya ke pesantren. Tak kurang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun terdorong untuk merencanakan penelitian terhadap pesantren-pesantren di Indonesia.

Rangkaian kecurigaan itu seperti menghadirkan kembali perilaku komunis yang tumbuh di Indonesia di akhir tahun 1940-an dan tahun 1960-an. Waktu itu, para ulama ditangkapi, disiksa, dan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Alasan satu-satunya adalah mereka menyebarkan ajaran Islam yang dianggap mengganjal perkembangan komunisme.

Peristiwa serupa juga terjadi saat UU Antisubversi diberlakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengekang umat Islam. Ulama yang ceramahnya 'keras', dicurigai hendak membuat makar. Mereka pun ditangkap, dan Islam dipandang sebagai agama yang mengancam negara. Pada awal tahun 1980-an, Islam pun menjadi berwarna mengerikan. Karena itulah, kemudian muncul istilah ''islamo-phobia'', yakni ketakutan terhadap Islam.

Selain karena kuatnya propaganda Barat, ketakutan terhadap Islam kini juga muncul karena lemahnya posisi umat Islam. Runtuhnya kepemimpinan Islam, membuat Islam menjadi tercerai-berai. Umat juga menjadi semakin jauh dari ayat-ayat Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Menarik untuk direnungkan sabda Rasulullah SAW yang menceritakan bahwa umat Islam nanti akan seperti hidangan di atas meja yang menjadi santapan empuk banyak pihak. Seorang sahabat lalu bertanya, ''Apakah karena jumlah kami sedikit?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Tidak! Bahkan jumlah kamu banyak, tetapi kamu seperti buih di lautan, dan Allah SAW mencabut rasa takut dari dada musuh-musuhmu terhadapmu dan mencampakkan ke dalam hatimu penyakit wahn.'' Seorang sahabat bertanya lagi, ''Apa itu wahn ya Rasulullah SAW?'' Rasul menjawab, ''Cinta dunia dan takut mati.'' (HR Abu Dawud dan Baihaqi).(SwaraMulim)

0 komentar: