Lebih dari 300 orang pendeta dan tokoh Kristen, sebagian asal Vatikan,
mengajukan permintaan maaf kepada kaum Muslimin. Mereka mengakui kesalahan yang
dilakukan orang-orang Kristen dalam rentang Perang Salib dan efek perang yang
dilakukan kaum Kristen terhadap terorisme di mana targetnya adalah orang Islam.
Mereka juga menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh umat Islam di dunia.
Permintaan maaf ini merupakan jawaban terhadap surat yang disampaikan beberapa waktu lalu oleh 138 ulama dan cendekiawan Islam. Surat itu bertajuk, “Kalimatun Sawaa bainanaa wa bainakum” (titik temu antara kami dan kalian). Pernyataan maaf kaum Kristen itu disampaikan dalam sebuah konferensi pers di Majma’ Tsaqafi (Forum Peradaban) di Abu Dhabi (26/11). (watch Sultan Salahudin vs crussader movie )
Surat yang disampaikan para tokoh Kristen itu dimulai dengan pemaparan sejumlah peristiwa yang melanggar hak umat Islam di masa lalu dan masa sekarang.
“Kami ingin menyampaikan di awal dengan mengakui bahwa ada sejumlah kaum Kristiani di masa lalu yang terlibat dalam perang salib misalnya, di masa sekarang terlibat dalam apa yang dinamakan perang melawan terorisme. Mereka telah melakukan dosa terhadap tetangga kami kaum Muslimin.
Maka sebelum kami mengulurkan jabat tangan kepada kalian, kami menjawab surat yang pernah kalian sampaikan. Kami memohonkan agar Tuhan Yang Pengasih memaafkan kami. Setelah itu barulah kami akan meminta maaf kepada umat Islam di seluruh dunia. ”
Pernyataan seperti ini, menurut Ali Jafri seorang da’i di Abu Dhabi, belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendekatkan antara dua agama dan dua kebudayaan sejak 500 tahun terakhir. Meskipun menurutnya, kaum Kristiani mewakili 55% penduduk dunia. Sebelum ini, para ulama Islam telah mengirimkan surat ke 27 tokoh agama Kristen yang menjadi pimpinan di daerahnya masing-masing. Dan kini, jawbannya sudah ditandatangani oleh 25 tokoh Kristen. (na-str/iol/eramuslim)
Permintaan maaf ini merupakan jawaban terhadap surat yang disampaikan beberapa waktu lalu oleh 138 ulama dan cendekiawan Islam. Surat itu bertajuk, “Kalimatun Sawaa bainanaa wa bainakum” (titik temu antara kami dan kalian). Pernyataan maaf kaum Kristen itu disampaikan dalam sebuah konferensi pers di Majma’ Tsaqafi (Forum Peradaban) di Abu Dhabi (26/11). (watch Sultan Salahudin vs crussader movie )
Surat yang disampaikan para tokoh Kristen itu dimulai dengan pemaparan sejumlah peristiwa yang melanggar hak umat Islam di masa lalu dan masa sekarang.
“Kami ingin menyampaikan di awal dengan mengakui bahwa ada sejumlah kaum Kristiani di masa lalu yang terlibat dalam perang salib misalnya, di masa sekarang terlibat dalam apa yang dinamakan perang melawan terorisme. Mereka telah melakukan dosa terhadap tetangga kami kaum Muslimin.
Maka sebelum kami mengulurkan jabat tangan kepada kalian, kami menjawab surat yang pernah kalian sampaikan. Kami memohonkan agar Tuhan Yang Pengasih memaafkan kami. Setelah itu barulah kami akan meminta maaf kepada umat Islam di seluruh dunia. ”
Pernyataan seperti ini, menurut Ali Jafri seorang da’i di Abu Dhabi, belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendekatkan antara dua agama dan dua kebudayaan sejak 500 tahun terakhir. Meskipun menurutnya, kaum Kristiani mewakili 55% penduduk dunia. Sebelum ini, para ulama Islam telah mengirimkan surat ke 27 tokoh agama Kristen yang menjadi pimpinan di daerahnya masing-masing. Dan kini, jawbannya sudah ditandatangani oleh 25 tokoh Kristen. (na-str/iol/eramuslim)
Oleh Nadya Salsabila Hutagalung
Jusuf Kalla pernah menyatakan, gerak pesantren perlu dibatasi, karena ada kecurigaan bahwa pesantren terkait dengan terorisme. Sebelumnya, pemerintah Australia pernah mengusulkan agar kurikulum pesentren diubah, dengan alasan senada.
Pasca Bom Bali II pemerintah melalui Departemen Agama telah pula menerjunkan tim penelitiannya ke Pesantren Ngruki di Solo dan Pesantren Al-Islam di Tenggulun, untuk mengetahui ada-tidaknya keterkaitan antara kurikulum di kedua pesentren tersebut dengan paham terorisme.
Ternyata, di kedua pesantren tersebut diajarkan paham salafi yang mengajak ummat pada kemurnian agama Islam, dan tidak ada sedikit pun materi yang mengajarkan paham terorisme. Meski sudah ada penelitian itu, kecurigaan pemerintah tetap saja berlangsung.
Bila pemerintah bisa mencurigai pesantren, seharusnya pemerintah juga bisa mencurigai Golkar, mencurigai TNI-Polri dan Perguruan Tinggi Negeri terkemuka seperti Universitas Indonesia (UI) dan sebagainya.
Mencurigai Golkar? Jelas beralasan. Sepanjang orde baru berkuasa yang identik dengan Golkar, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, seluruh menteri kabinet pembangunan, bahkan hingga Kepala Kelurahan (Kepala Desa), dijabat oleh orang Golkar. Torehan terbesar dan terdalam yang dihasilkan Golkar adalah keberhasilannya menjadikan korupsi sebagai bagian dari budaya di semua tingkatan sosial masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seorang warga berurusan dengan aparat kelurahan untuk mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk), ia akan merasa kurang afdhol jika hanya membayar biaya administrasi sesuai ketentuan. Oleh karena itu, agar lebih afdhol dan hatinya merasa tenteram, ia pun dengan rela hati mengeluarkan biaya ekstra yang besarannya bisa mencapai 4 kali lipat atau lebih dari tarif semestinya. Pada sisi lain, aparat kelurahan pun akan bermuka masam bila warga yang mengurus KTP tadi hanya mengeluarkan biaya sesuai ketentuan. Inilah yang dinamakan korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. “Pejabatnya siap disuap, rakyatnya siap menyuap.”
Contoh di atas hanya salah satu contoh kecil. Faktanya, di tingkatan yang lebih tinggi, praktik korupsi dan suap menyuap yang terjadi pastilah lebih dahsyat, menyangkut uang miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah.
Dengan penuh curiga seharusnya kita bertanya, “apa di Golkar diajarkan tata cara melakukan korupsi yang baik dan benar?”
Perguruan Tinggi Negeri juga juga harus dicurigai dan dibatasi ruang geraknya. Karena dari sini lahir sejumlah pelaku tindak korupsi manakala mereka dipercaya menduduki jabatan tertentu. Sebagaimana terhadap pesantren, seharusnya pemerintah juga berinisiatif melakukan penelitian di semua Perguruan Tinggi Negeri (plus swasta kalau perlu), “apakah ada kurikulumnya yang mengajarkan cara-cara melakukan korupsi yang baik dan benar?”
Sarlito Wirawan, gurubesar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi pasca Bom Bali II, menggunakan istilah “sampah” yang ditujukannya kepada pelaku bom bunuh diri di Nusa Dua dan Legian, Bali (1 Oktober 2005). Seharusnya ia juga menggunakan istilah yang sama untuk sarjana-sarjana UI yang ketika diberi amanah justru berkhianat. Istilah “sampah” juga patut diberikan kepada lulusan UI seperti mendiang Dono dan Kasino (Warkop) yang hanya menyuguhkan lawakan “sampah” dengan mengeksploitasi aurat perempuan, dan ironisnya, film-film “sampah” mereka selalu ditayangkan pada saat liburan Lebaran (Idulfitri).
Bagaimana dengan TNI-Polri? Seharusnya pemerintah juga meneliti apakah ada kurikulumnya yang mengajarkan bagaimana membekingi berbagai kejahatan seperti illegal logging, pencurian pasir, penyelundupan BBM, pelacuran, perjudian mulai dari tingkat togel hingga judi setengah resmi yang beroperasi di hotel berbintang semisal Hotel Borobudur. Bahkan, melalui judi setengah resmi tadi telah dijadikan sumber utama bagi dana operasional TNI-Polri, yang nilainya mencapai miliaran rupiah per hari. Dengan kondisi demikian, mungkinkah kita menghapus berbagai rupa kejahatan di Indonesia?
Jusuf Kalla pernah menyatakan, gerak pesantren perlu dibatasi, karena ada kecurigaan bahwa pesantren terkait dengan terorisme. Sebelumnya, pemerintah Australia pernah mengusulkan agar kurikulum pesentren diubah, dengan alasan senada.
Pasca Bom Bali II pemerintah melalui Departemen Agama telah pula menerjunkan tim penelitiannya ke Pesantren Ngruki di Solo dan Pesantren Al-Islam di Tenggulun, untuk mengetahui ada-tidaknya keterkaitan antara kurikulum di kedua pesentren tersebut dengan paham terorisme.
Ternyata, di kedua pesantren tersebut diajarkan paham salafi yang mengajak ummat pada kemurnian agama Islam, dan tidak ada sedikit pun materi yang mengajarkan paham terorisme. Meski sudah ada penelitian itu, kecurigaan pemerintah tetap saja berlangsung.
Bila pemerintah bisa mencurigai pesantren, seharusnya pemerintah juga bisa mencurigai Golkar, mencurigai TNI-Polri dan Perguruan Tinggi Negeri terkemuka seperti Universitas Indonesia (UI) dan sebagainya.
Mencurigai Golkar? Jelas beralasan. Sepanjang orde baru berkuasa yang identik dengan Golkar, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, seluruh menteri kabinet pembangunan, bahkan hingga Kepala Kelurahan (Kepala Desa), dijabat oleh orang Golkar. Torehan terbesar dan terdalam yang dihasilkan Golkar adalah keberhasilannya menjadikan korupsi sebagai bagian dari budaya di semua tingkatan sosial masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seorang warga berurusan dengan aparat kelurahan untuk mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk), ia akan merasa kurang afdhol jika hanya membayar biaya administrasi sesuai ketentuan. Oleh karena itu, agar lebih afdhol dan hatinya merasa tenteram, ia pun dengan rela hati mengeluarkan biaya ekstra yang besarannya bisa mencapai 4 kali lipat atau lebih dari tarif semestinya. Pada sisi lain, aparat kelurahan pun akan bermuka masam bila warga yang mengurus KTP tadi hanya mengeluarkan biaya sesuai ketentuan. Inilah yang dinamakan korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. “Pejabatnya siap disuap, rakyatnya siap menyuap.”
Contoh di atas hanya salah satu contoh kecil. Faktanya, di tingkatan yang lebih tinggi, praktik korupsi dan suap menyuap yang terjadi pastilah lebih dahsyat, menyangkut uang miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah.
Dengan penuh curiga seharusnya kita bertanya, “apa di Golkar diajarkan tata cara melakukan korupsi yang baik dan benar?”
Perguruan Tinggi Negeri juga juga harus dicurigai dan dibatasi ruang geraknya. Karena dari sini lahir sejumlah pelaku tindak korupsi manakala mereka dipercaya menduduki jabatan tertentu. Sebagaimana terhadap pesantren, seharusnya pemerintah juga berinisiatif melakukan penelitian di semua Perguruan Tinggi Negeri (plus swasta kalau perlu), “apakah ada kurikulumnya yang mengajarkan cara-cara melakukan korupsi yang baik dan benar?”
Sarlito Wirawan, gurubesar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi pasca Bom Bali II, menggunakan istilah “sampah” yang ditujukannya kepada pelaku bom bunuh diri di Nusa Dua dan Legian, Bali (1 Oktober 2005). Seharusnya ia juga menggunakan istilah yang sama untuk sarjana-sarjana UI yang ketika diberi amanah justru berkhianat. Istilah “sampah” juga patut diberikan kepada lulusan UI seperti mendiang Dono dan Kasino (Warkop) yang hanya menyuguhkan lawakan “sampah” dengan mengeksploitasi aurat perempuan, dan ironisnya, film-film “sampah” mereka selalu ditayangkan pada saat liburan Lebaran (Idulfitri).
Bagaimana dengan TNI-Polri? Seharusnya pemerintah juga meneliti apakah ada kurikulumnya yang mengajarkan bagaimana membekingi berbagai kejahatan seperti illegal logging, pencurian pasir, penyelundupan BBM, pelacuran, perjudian mulai dari tingkat togel hingga judi setengah resmi yang beroperasi di hotel berbintang semisal Hotel Borobudur. Bahkan, melalui judi setengah resmi tadi telah dijadikan sumber utama bagi dana operasional TNI-Polri, yang nilainya mencapai miliaran rupiah per hari. Dengan kondisi demikian, mungkinkah kita menghapus berbagai rupa kejahatan di Indonesia?
0 komentar:
Posting Komentar