Di zaman sekarang, ulama yang berpegang pada ajaran Islam tidak didengar. Fatwa
mereka dilawan. Sebaliknya, lahir ulama jahat (ulama su’).
Pada 29 Desember 2004, Harian Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung menyiarkan sebuah berita berjudul “Gelombang Besar Hantam Pangandaran
dan Laut Jawa. Yusuf: "Jabar Selatan Bisa Habis". Ada baiknya berita itu kita
simak kembali, setelah kita menyaksikan terjadinya gempa bumi dan tsunami yang
menerjang sejumlah daerah di pesisir Jawa Barat Selatan dan beberapa daerah di
Jawa Tengah Selatan, pada Selasa, 18 Juli 2006 lalu.
Gempa dan tsunami
itu menelan korban meninggal lebih dari 500 jiwa. Padahal, ternyata, jauh-jauh
sebelumnya, hal itu sudah diperingatkan oleh sejumlah pakar geologi.
Dalam berita itu diceritakan, bahwa masyarakat Jawa Barat, khususnya
yang berada di jalur Pantai Selatan diminta lebih waspada terhadap kemungkinan
terjadinya gempa bumi yang bisa menyebabkan gelombang tsunami. Kewaspadaan ini
perlu dilakukan mengingat Jawa Barat termasuk daerah yang rawan gempa, sehingga
potensi terjadinya tsunami juga sangat besar.
Peringatan tersebut
disampaikan Kasi Gerakan Tanah Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Ir. H. Gatot Moch. Soedrajat, M.Sc., dan Kepala Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA) BPPT, Dr. Yusuf
Surachman Djajadihardja.
Menurut Gatot, potensi terjadinya gempa di Jawa
Barat karena terdapatnya lempengan tektonik yang memanjang di Samudera Hindia
mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, hingga ke Irian Jaya. "Makanya pulau yang
terlewati oleh lempengan itu berpotensi terhadap terjadinya gempa tsunami
termasuk Pulau Jawa, ya termasuk Jawa Barat bagian selatan ini," katanya di
Bandung, Senin (27/12/2004).
Namun menurut Gatot, kalaupun terjadi gempa
dan tsunami di Jabar Selatan ini tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat
pantainya terjal dan tidak padat penduduk seperti di pantura. "Mulai dari
Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasik, Ciamis berpotensi namun tidak erlalu
mengkhawatirkan mengingat di wilayah itu pantainya terjal,"
katanya.
Sementara itu, saat jumpa pers tentang penyebab gempa Aceh di
BPPT Jakarta, Senin (27/12), Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA) BPPT, Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja
mengemukakan, saat dirinya melakukan pemetaan dasar laut (batimetri) pada 2002,
ditemukan adanya indikasi atahan Sumatra yang memanjang hingga Laut Hindia
sepanjang 300 kilometer.
Patahan itu masuk wilayah selatan Jabar, seperti
Sukabumi, Ujung Genteng, dan Panaitan (Banten). "Ujung patahan ini belum
memotong palung, tapi masih aktif. Jaraknya sekitar 30 kilometer. Topografi
dasar laut di sana, terdapat gunung dan lembah. Perbedaan antara gunung dan
lembah (palung) sekira 2500 meter. Seandainya ujung patahan itu memotong palung,
bisa dibayangkan gunung yang setinggi 2500 meter runtuh. Yang terjadi adalah
tsunami yang sangat dahsyat. Jabar selatan bisa habis," kata Yusuf.
Untuk
mengantisipasinya, ujar sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB ini, bisa dipasang
radar berfrekuensi tinggi (HF Radar). Radar ini bisa memberikan peringatan dini
bila terjadi gempa atau gerakan di bawah tanah dengan radius 400 kilometer.
"Jabar harus dilengkapi HF Radar mengingat daerahnya rawan terjadi gempa. Daerah
sepanjang Jawa dan Sumatera adalah tempat pertemuan Lempeng Indo-Australia dan
Eurasia sehingga potensial terjadi gempa. Sebab pergeseran lempeng itu antara
7,5 - 8,2 sentimeter pertahun," ujar Yusuf.
Demikian berita penting dari
Harian Pikiran Rakyat sekitar dua tahun lalu, yang perlu kita catat. Bahwa,
ternyata sudah ada peringatan dini yang sudah diperkirakan oleh para pakar gempa
di Indonesia. Entah mengapa peringatan itu tidak ditindaklanjuti dengan baik
oleh Pemda Jabar. Lalu, terjadilah bencana dahsyat berupa gempa dan tsunami yang
memakan korban lebih dari 500 jiwa. Dibandingkan dengan gempa Yogya, tentu saja,
dampak sosial dari gempa dan tsunami di wilayah Jabar dan Jateng ini masih jauh
lebih kecil.
Namun, yang menjadi peringatan penting adalah bahwa gempa
dan tsunami sudah mulai merambah Pulau Jawa. Meskipun kekuatan tsunami kali ini
masih jauh dibandingkan dengan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, secara
psikologis, tsunami ini sudah mulai menghentakkan kawasan padat penduduk di
Pulau Jawa. Pada Rabu, 19 Juli 2006, penduduk Jakarta juga sudah merasakan gempa
yang terjadi di Selat Sunda.
Sebagian kalangan kini mempersoalkan,
mengapa peringatan dini tentang terjadinya gempa dan stunami tidak diindahkan.
Ini baru peringatan manusia. Inilah sikap kebanyakan manusia. Mudah lupa dan
tidak peduli dengan masa depannya, karena terjebak hal-hal yang melenakan.
Tontonan sepak bola Piala Dunia selama sebulan telah melenakan begitu banyak
manusia. Banyak media massa yang lebih asyik menyiarkan hal-hal yang ‘menghibur’
ketimbang mendidik. Tayangan-tayangan infotainmen dan hiburan di televisi sudah
begitu mendominasi aktivitas manusia.
Tapi, ini baru pelajaran kecil di
dunia. Sebagai Muslim, kita perlu mengambil hikmah tentang semua peristiwa ini.
Melalui Al-Quranul Karim, Allah sudah memperingatkan akan datangnya Hari Akhir;
akan tibanya satu hari pembalasan; dimana seluruh amal manusia diperhitungkan,
ditimbang, dan dimintai pertanggungjawaban. Namun, manusia banyak yang bersikap
aneh. Bukannya memperhatikan sungguh-sungguh signal dan peringatan dini dari
Allah itu, dan kemudian sibuk menyiapkan masa depannya di akhirat, tetapi justru
asyik membangun istana dan mengumpulkan kekayaan di dunia, seolah-olah harta
bendanya akan mengekalkan dia di dunia. Banyak yang malas beribadah dan beramal
untuk akhirat, padahal itulah tempat tinggal manusia yang abadi.
Kita
berdoa semoga bencana demi bencana di negeri kita, mampu menyadarkan manusia
Indonesia untuk melakukan introspeksi, dan segera bertobat, memperbaiki diri,
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara akal, manusia harus berusaha keras
untuk mencegah atau melakukan upaya-upaya untuk meminimalkan jumlah korban yang
mungkin ditimbulkan dari satu bencana. Sistem peringatan dini terhadap gempa
seyogyanya sudah mulai dipasang untuk daerah-daerah yang rawan tsunami. Inilah
kewajiban manusia untuk berikhtiar sesuai dengan ilmu yang mereka miliki.
Akan tetapi, disamping itu, manusia, khususnya kaum Muslim, pun
diwajibkan untuk melakukan ikhtiar yang lebih. Setiap muslim yakin bahwa apapun
yang musibah atau bencana menimpa mereka, tidak akan terjadi kecuali dengan izin
Allah SWT. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa (yang artinya):
“Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan upaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat
kikir. dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka
Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS
Al-Hadid:22-24)
Hidup di dunia ini adalah semata-mata menjalani ujian
demi ujian, baik berupa kesenangan maupun berupa kesedihan. Senang dan susah
datang silih berganti. Tidak ada manusia yang selama hidupnya senang terus, atau
susah terus-menerus sepanjang hayat. Sesekali tersenyum, tertawa, sesekali juga
sedih dan menangis. Saudara-saudara kita yang tertimpa musibah tsunami di Pantai
Selatan Jawa kali ini pun menanggung beragam uka, mulai kehilangan sanak saudara
sampai dengan harta benda. Setiap datang bencana kita hanya dapat berucap, pasti
ini datang dari Allah SWT. Tidak mungkin bencana ini terjadi di luar izin Allah
SWT. Kita hanya berusaha mengambil hikmah dari ujian, teguran, atau mungkin
hukuman (azab) yang diberikan Allah kepada kita.
Manusia seyogyanya
sadar bahwa di mana pun dia berada, kematian akan selalu mengintai. Sungguh
menyedihkan jika berbagai peringatan tentang akan datangnya sunami di Pantai
Selatan Jawa itu sudah disampaikan jauh sebelumnya, masih ada manusia-manusia
yang mengumbar maksiat di lokasi-lokasi tersebut. Kita sungguh tidak habis
pikir, bagaimana manusia bisa begitu berani melawan Allah yang menciptakan
mereka dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Setelah mendapatkan
peringatan dini tentang tsunami tersebut, penduduk Pulau Jawa – termasuk Jakarta
– harusnya semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak lagi bermain-main
dengan dosa dan maksiat.
Baru-baru ini kita dibuat tercengang, bagaimana
media massa di Indonesia dengan gegap gempita menyiarkan satu acara Kontes Waria
di Jakarta Timur, yang dihadiri seorang mantan Presiden RI yang biasa dipanggil
kyai haji. Untuk apa kontes semacam itu diadakan?
Lihatlah di berbagai
stasiun TV saat ini, betapa banyak perilaku-perilaku yang mempermainkan
batas-batas larangan Allah. Wanita-wanita begitu banyak yang berlagak seperti
laki-laki, sedangkan laki-laki juga bergaya dan berpakaian seperti wanita.
Padahal perilaku seperti itu jelas-jelas dilarang Rasulullah saw. Allah melarang
manusia mendekati zina, tetapi promosi pergaulan bebas dan pengumbaran aurat
wanita menjadi semakin liar.
Di masa lalu, masih banyak yang protes
terhadap pengiriman wakil Indonesia ke Kontes Miss Universe. Tahun ini,
pengiriman putri Indonesia ke ajang ratu sejagad itu seperti sudah dianggap hal
biasa. Yang protes terhadap masalah itu akan dipojokkan habis-habisan oleh
banyak media massa di sini.
Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila
perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah
menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al
Hakim).
Dalam soal homoseksual, Allah sudah memperingatkan: “Dan
(ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar
mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". (QS
al-Ankabut:28).
Rasulullah saw juga memperingatkan:
“Barangsiapa
yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka
bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Ahmad).
Di zaman seperti ini,
para ulama yang masih berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam, akan
menghadapi tugas yang makin berat. Ucapan mereka tidak didengar. Fatwa mereka
dikecam, dicap sebagai fatwa kuno, ketinggalan zaman, dan sebagainya. Yang lebih
berat, diantara yang mengecam para ulama itu juga dari kalangan ulama jahat
(ulama su’), yang sudah memperjualbelikan agama dengan harta benda dunia. Atau
ulama-ulama ulama yang keliru ilmunya, tetapi sudah terlanjur diberi gelar ulama
atau cendekiawan, dan tak jarang juga berposisi sebagai pemimpin atau tokoh satu
organisasi atau lembaga pendidikan tinggi, sehingga mereka bukannya mengajarkan
ilmu yang benar, tetapi justru menyebarkan ilmu-ilmu yang salah untuk
menyesatkan manusia. Yang baik dikatakan buruk; yang buruk dipromosikan sebagai
kebaikan.
Para ulama yang baik, para ulama pewaris Nabi, tentu saja tidak
boleh menyerah dan melemah dalam semangat dakwah dan beramar ma’ruf dan nahi
munkar. Mereka harus tetap giat mengingatkan masyarakat agar tetap berpegang
kepada ajaran-ajaran Allah, bagaimana pun beratnya. Mereka tidak boleh berputus
asa. Sebab, adanya aktivitas amar makruf nahi munkar itu dapat menjauhkan
masyarakat dari bencana. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bab Amar Ma’ruf Nahi
Munkar, Imam Ghazali mengutip satu hadits Rasulullah saw: “Tidaklah dari
suatu kaum yang berbuat maksiat dan di kalangan mereka da orang yang mampu
mencegah atas mereka, lalu dia tidak melakukannya, melainkan hampir-hampir Allah
meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu awud, Tirmidzi, dan Ibn
Majah).
Selain melakukan berbagai ikhtiar ilmiah, untuk menghindarkan
diri dari bencana, kita juga diajarkan untuk berdoa kepada Allah SWT dan
banyak-banyak bershadaqah. Kita harus berusaha keras memberantas kemusyrikan dan
kezaliman. Sudah saatnya kita berdoa dengan sungguh-sungguh, pagi, siang dan
malam, agar kita terhindar dari bencana dan dimasukkan ke dalam golongan
orang-orang yang shalih. Amin. swaramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar