"Pada dasarnya manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam)" begitu yang pernah saya dengar dari
seorang ustadz. Tapi, bagi saya, agama tak ubahnya bagai sebuah undian. Saya
menyesal, mengapa dulu lahir sebagai anak ketiga. Sebab, sesuai perjanjian di
antara kedua orang tua saya, anak pertama harus menganut Katolik, anak kedua
Islam, anak ketiga Katolik. Begitu seterusnya, selang-seling. Saya sebagai anak
ketiga, tentu harus beragama Katolik.
Di Kelurahan Buduran, Kec. Buduran,
Sidoarjo (Jawa Timur), saya dilahirkan. Tepatnya, 28 September 1974. Nama
lengkap saya adalah Xaverius Andrean Sulistyo. Ayah saya WNI keturunan Tionghoa,
menganut agama Katolik. Sedangkan ibu, asli Jawa kelahiran Malang Jatim) dan
beragama Islam. Kendati agama orang tua saya berbeda, namun keluarga kami cukup
rukun dan harmonis. Setahu saya, mereka tak pernah ribut soal perbedaan agama.
Dalam soal prinsip, saya salut pada mereka.
Walaupun sudah cukup lama
hidup berumah tangga, tetapi ayah dan ibu tetap bertahan pads agama yang
diyakininya. Satu sama lain tak terpengaruh. Malah dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya yang menyangkut ibadah, di antara keduanya saling menghormati dan
menghargai.
Agaknya, ayah benar-benar ingin menjadikan saya sebagai
penganut Katolik sejati. Sejak kecil, saya sudah diajar mengenal Yesus. Untuk
membersihkan dosa turunan, saya dibawa ke sebuah kolam guna dicuci (dengan cara
diselamkan oleh seorang romo). istilahnya dipermandikan atau dibaptis.
Saat itu saya baru kelas dua SD. Nama depan saya, Xaverius, adalah nama
tambahan setelah saya dipermandikan. Pendidikan saya mulai TK sampai SMA saya
tempuh di sekolah Katolik di Surabaya.
Kendati saya "sejalur" dengan
ayah, tapi dalam kehidupan sehari-hari saya merasa lebih dekat kepada ibu. Di
mata saya, beliau memang sosok seorang ibu yang lembut dan penuh kasih sayang.
Dia sangat disukai oleh anak-anaknya. Namun khusus untuk saya, ibu menaruh
perhatian lebih Itu, konon, karena sayalah anak yang paling patuh, rajin, dan
tidak suka neko-neko pada orang tua dibanding saudara-saudara saya yang lain.
Dan, saya pun menyayanginya.
Setelah lulus SMA, saya melanjutkan studi ke
Politeknik Pertanian Universitas Jember. Walaupun saya hidup di rantau dan cukup
jauh dari Sidoarjo, namunperhatian ibu tak pernah berkurang. Dia terus memantau
perkembangan saya melalui telepon. Bahkan, tak jarang ibu sendiri yang datang
menjenguk saya. Sedangkan ayah, bukan tak punya perhatian pada saya. Tapi,
karena kesibukannya di kantor, sehingga is tak punya banyak waktu luang untuk
bercengkerama dengan anak-anaknya.
Walaupun saya lebih dekat dengan ibu,
tapi dia tidak pernah menyinggung-nyinggung soal agama yang saya anut.
Kata-kata yang keluar dari bibir ibu adalah nasihat agar saya selalu rajin
belajar sebagai bekal hidup di masa depan. Tapi, entah mengapa, pada suatu pagi,
ibu berbicara (lewat telepon) cukup lama soal agama. Tidak biasanya dia begitu.
Intinya, ibu akan sangat berbahagia bila saya seagama dengannya. Bukan
permintaan, melainkan cuma sebuah harapan.
Terus terang, hal itu membuat
saya berada dalam posisi yang dilematis. Pikiran saya sempat diaduk-aduk
kebimbangan antara memenuhi harapan ibu atau sebaliknya. Kalau harapan ibu saya
tolak, tentu dia kecewa. Namun jika saya penuhi, justru ayah akan lebih kecewa
lagi dan terluka perasaannya. Akibat selanjutnya, saya khawatir terjadi
disharmoni di antara mereka lantaran memperebutkan status agama saya. Akhirnya,
saya putuskan untuk tetap berpegang pada agama saya: Katolik.
Mendapat Musibah.
Sebulan kemudian, ibu mendapat kecelakaan lalu
lintas. Sepulang dari suatu acara, mobil yang dikendarainya bertabrakan dengan
truk. Ibu meninggal dunia beberapa saat setelah tiba di rumah sakit. Saya
sendiri baru tiba di rumah dan mendapatkan ibu sudah terbujur kaku. Luka di
bagian kepala dan pundaknya, memang cukup parah. Saya hanya bisa meneteskan air
mata di samping jenazah ibu. Sementara, beberapa pelayat tampak membaca
Al-Qur'an.
Kepergian ibu membuat jiwa saya terseret dalam duka yang
begitu dalam. Saya telah kehilangan orang yang paling saya sayang dan menyayangi
saya. Tiba-tiba, saya berubah pikiran. Demi cinta dan rasa hormat saya pada
almarhumah ibu, saya ingin mewujudkan harapannya yang dulu pernah saya tolak,
yaitu masuk Islam.
Saya tidak memerlukan pertimbangan apa-apa lagi.
Keinginan saya untuk masuk Islam sudah mantap. Teman teman saya juga banyak yang
mendukung. Malah, kata mereka, seandainya saya jadi masuk Islam, maka arwah ibu
akan mendapat percikkan kesejukan, karena keimanan saya itu. Juga hubungan saya
dengan almarhumah ibu tak akan pernah putus.
Maka, pada tanggal 6 Mei
1996, saya resmi seiman dan seagama dengan almarhumah ibu alias sama-sama
menuhankan Allah SWT. Acara pengislaman itu dilaksanakan secara sederhana di
Masjid Al-Hikmah Kampus Universitas Jember, di bawah bimbingan Drs. Shangaji M.
(Maulana/Albaz) (dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein,
Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ )
0 komentar:
Posting Komentar